angin lirih menyapa lembut tubuh.
membawa serta luka lalu.
menggigil bagai dingin.
walau pelukan hanya sebatas ingin.
pernah kau menangis, kawan.
menangisi semua tentang kehilangan.
tentang nyawa, rasa, harta, juga cinta.
air mata seakan tak henti kau deraikan.
rengekkan tanpa ujung kau teriakkan.
mengais yang tersisa,
mencari yang masih ada,
dan menemukan yang sudah tiada.
seorang anak berteriak,
menemukan potongan tangan ayahnya yang telah kaku membiru di bawah serpih reruntuhan.
seorang wanita dengan sesenggukannya yang jarang,
masih berusaha mencari balitanya yang tersapu ombak lepas dari pelukan.
seorang lelaki kebingungan mencari kesana-kemari keluarganya yang telah hilang saat dia membuka mata.
Tuhan tunjukkan kuasanya,
bumi diperintahkan tunjukkan kedigdayaannya.
seakan airpun bisa bernyawa.
dan manusia hanya bisa diam saja memandang yang tak pernah terpikirkan olehnya.
mereka sebut bencana.
mereka sebut musibah.
tapi Tuhan selalu punya cara untuk mengingatkan.
kini waktu telah berganti, kawan.
tangis yang dulu,
kini menyisakan kenangan.
luka kehilangan, membekas begitu dalam.
tapi percayalah, Tuhan tak akan tinggal diam.
dari ujung sana, percayalah.
percayalah cinta akan tiba pada saatnya.
lalu tegaplah lagi.
berdiri dan memandang terangnya mentari.
berdiri dan kembali menantang mentari esok pagi.
dari sini,
barisan doa kuaamiini di tiap tegukkan kopi.