Senin, 04 Agustus 2014

sore di kota binal


seekor elang terbang mlayang, tinggi menyapa awan yang muram dalam kegelisahan. mendung menyapa sore yang bergulat lelah dengan jadwal.

lelah diam-diam menyelinap di tubuh. mata mulai sayu memandang hamparan jalan, jenuh. seketika tersentak, mata menyala, terkejutkan.
mudi mudi bercengkrama, sederhana. sesederhana mereka berdiam di pangku ayah bundanya. tak hiraukan budaya. celana 10 cm dari pangkal paha. mengumbar halus kulitnya.
di sana gadis-gadis berkeliaran begitu saja, tawanya menganga, seakan siap menerkam semua yang ada.

di sudut jalan, ada teriakan memanggil namaku. di kedai kopi sederhana, teman lama sedang duduk menikmati suasana. kuhampiri saja. sekitarnya banyak mama-mama muda sedang arisan sepertinya. berjilbab atasnya, jagetnya di buka, dan membirkan lengannya terbuka. ah, ini budaya seperti apa..

senja akan datang, mentari mulai jatuhkan kesombongannya. sinarnya memerah manja. pandang masih tetap saja. tersajikan pemandangan binal yang tepiskn semua budaya. tapi entahlah, nafsuku tak ada. aku hanya bayangkan mereka adik-adikku, yang harusnya waktu ini sedang belajar mengaji atau les private untuk ujian yg akan mereka hadapi..
harusnya, begitu adanya..

Minggu, 03 Agustus 2014

dia sahabatku, jangan ganggu..!!


malam datang, sayup-sayup deru mesin memekakkan telinga. kupandang sepasang mata sedang gelisah dibuai dilema. diam, aku hanya memandanginya diam. semakin sayu saja sepasang mata itu.

secangkir kopi tersuguhkan, hangatkan. sebuah bincang ringan tentang hidup kusuguhkan. ya, seperti itulah, hidup tak pernah lelah untuk menuntut. tapi, mata itu terlalu jauh memandang. sepertinya kosong.

sahabat, katakan saja apa yang terjadi. biar aku dan kopi ini jadi pendengar baik.

gelisah duduknya, mungkin ada duka di hatinya, atau sedang beramarah pada jalan hidupnya. perlahan malam semakin malam. dingin semakin dingin. kopi pun ikut menghitam dan mendingin. tak hiraukan siapa, tak hiraukan bagaimana, keluhnya seakan menggugah semua bulu kudukku..

sahabat, nikmati dulu kopimu. mungkin sedikit bisa menenangkanmu. ucapku lirih. diminumnya, dirasakannya sampai masuk tenggorokan.

sejak itu, malam demi malam dilalui dengan cecaran ceritanya, kopiku diam saja mendengarkan. tak berani berkata apapun, hanya mendengarkan. sisa amarah seakan masih memerah di sorot matanya. masih bara. dan kukunci rapat mulutku untuk itu.

maaf, mungkin tak banyak yang bisa kukatakan, aku hanya mampu mendengarkan. aku tak berani ambil sikap untuk itu. karna aku tak ingin merusakmu. dan aku hanua mampu sediakan tubuh, dan waktuku untuk menjadi sahabat pendengar terbaik untuk keluhmu.

waktu kini telah berlalu. kabar tentangmu seakan tak kudengar lagi, sesaat setelah kau ikrarkan tak hiraukan masa lalu. pesan singkat di ponselku pun tak pernah kutemui namamu. semua berubah seketika, sekejap saja. mungkin aku ikut serta pada masa lalu yang tak ingin kau hiraukan pada ikrarmu..

ah, semoga kau baik-baik saja di sana, sahabat. dan katakan pada sahabatmu, kau jantan petarung dunia. bukan kambing perah yang diikat lehernya.

jika mungkin nanti dunia berbalik, kau tau dimana aku berada. temui aku di samping kopi yang pernah kau tinggal terakhir kali..

-piko