hampar hijau nan indah,
terpecah.
ranting jatuh gelisah,
menyapa gundah gersangnya tanah.
kaki berjalan tak henti.
telusuri ilalang rimbun.
setapak jalan dan kegelapan.
selangkah demi selangkah kepercayaan.
memuaskah rasa keingin tahuan.
di ujung sana,
suara gaduh seakan menyapa.
lelaki-lelaki tak lelah dunia.
bermandi canda,
membungkus realita.
kulihat mereka bermandi keringat.
sesekali diusap.
meski tak kunjung kesring,
meski tak kunjung habis,
tapi itu cara mereka kuat.
teguh sepertinya.
keyakinan seadanya.
yang mereka rasa,
hanya bayang nyanyian perut anak istrinya.
satu demi satu tumbanglah sudah.
menebas kesombongan gagah.
mencabut akar dari pelukan tanah.
sekuat tenaga mereka.
sehebat sisa nasi mereka.
seorang tambun dengan tangan di kantong jaketnya berteriak.
perintah seakan menjadi sabda wajib mereka.
melibas semua yang tersisa.
hei, ada kopi.
duduk aku menyapa mereka.
seakan ingin sejenak istirahatkan lelah mereka.
kubincangkan tentang lain sisi dunia.
menikmati kopi jatah mereka.
merasakan betapa pahit sebenarnya hidunya.
membagi kisah sedih,
mencampur tawa seadanya.
bukan tentang bagaimana yang semestinya.
tak akan bisa melawan kejamnya dunia.
jangan memandang hanya dari cara saja.
tapi bagiamana mereka tak lakukan yang tak sewajarnya.
mereka berdosa.
mereka tau itu.
tapi alangkah hinanya,
lelaki tambun yang hanya bisa cuapkan perintah itu.
yang munafikkan hidupnya.
yang bergaya seakan tak dosa.
yang berkata seperti dewa kebenaran saja.
tapi tangan kirinya mencekik leher lelaki-lelaki suruhannya, dan tangan kanannya membunuh tanpa ada sisa darah.
kopiku, jangan disalahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar