Jumat, 31 Oktober 2014

kopiku diaduk pensil

ramai sapa pagi.
secangkir kopi temani diri sendiri.
riuh gaduh suara canda terlihat lembut di kebersamaan yang terhalang jarak.

"pagi", kata mereka.
membalas dan saling membalas tentang ucap pagi.
jarak tak lagi bisa meninggi egonya.
karna hangat sapa sederhana dari sahabat, selalu mampu pecahkan hening kegelisahan.

mungkin ruang memenjarakan raung.
mungkin tangan tak saling berjabatan.
tapi rasa saling menjaga, ada di setiap sapa dan kisah mereka.

di sana aku seakan menyapa luas dunia.
surabaya, malang, banyuwangi, jakarta, makasar, bogor, aceh, jember, bahkan ausatralia, saling menyapa pagi meski beda waktu mereka.

mengisi keresahan,
membagi canda kebahagiaan,
menjaga untuk tak saling hanyut dalam keresahan.
ah, mereka saudara yang pernah Tuhan pisahkan.

kadang mereka tertawa menghabisi kebodohan,
lalu bahagia dengan saling membalas sajak hebat.
maklum saja, mereka penikmat dan ibu yang siap lahirkan segal sajak tentang dunia.
mereka, punya cara untuk bersama.
meski jarak memisahkannya.

kadang mereka ceritakan resah,
lalu satu-persatu mengisi,
satu persatu memberi petuah.
sekedar mencoba saling hilangkan rasa resah.

kadang mereka membully,
dengan saling menghabisi.
tapi entah, seakan mereka curahkan kasih sayang dari segala yang mereka utarakan.

semoga waktu bisa tahu,
semoga pekatnya jarak bisa saling merebak.
lalu kebersamaan, mejadi kekuatan dalam hangat api unggun persaudaraan.

kalian, saudara yang pernah Tuhan pisahkan..

kopiku diaduk pensil.

si sexy pulang pagi lagi

paras ayu,
senyum manis,
mata tajam,
memandang goda untuk tiap yang dilihatnya.

dia wanita muda,
di hatinya ada keteguhan.
di benaknya sudah ada beban.
di pundaknya beberapa orang menggantungkan.
tapi sayang, dia wanita yang tak bisa berfikir panjang.

malam itu begitu keruh.
bak benang kusut yang menggumpal di otaknya.
segala beban yang ada,
segala masalah keluarganya,
seakan ditujukan kepadanya.
wanita muda usia.

sudah pernah diinginkan dunia yang sewajarnya.
sudah pernah sedikit dijalani bahagia yang semestinya.
tapi munkin dunia masih ingin menggoda.
dengan serentetan carut masalah yang menyapanya.

mungkin karna mudanya,
mungkin karna pengalamannya,
mungkin karna sekitarnya,
mungkin karna yang dia tahu itu saja.
langkahnya seketika kembali pada arah yang pernah dia palingkan.
menyapa malam lagi dia.

aroma bir tercium sudah.
asap-asap rokok menyesak di nafasnya.
teriakan demi teriakan terlontarkan.
meluap semua beban yang dia rasakan.

di tubuh sexynya,
tangan tangan lelaki memeluk menggoda.
bibir-bibir busuk lelaki mencoba meraih pipi dan lehernya.
tapi dia coba untuk bergeming.
tak membalas semua yang menimpanya.
mungkin sisa imannya masih ada.
mungkin sisa ibadahnya masih terasa.

ah, tapi apa yang bisa dilakukan wanita muda sepertinya.
dunia seakan permainkan semua.
memegang peranan penting di hidupnya.
memutarkan mimpi dari impiannya.
lalu merangkau jalan menunjukkan kembali kegelapan.

menangislah, seharusnya.
berteriaklah, seharusnya.
habiskan sisa air mata.
enyahkan semua penat dunia.
karna kelak, malam ini tak akan pantas kau jadikan kenangan manis di sisa hidupmu yang bahagia.

kopiku, jangan disalahkan

hampar hijau nan indah,
terpecah.
ranting jatuh gelisah,
menyapa gundah gersangnya tanah.

kaki berjalan tak henti.
telusuri ilalang rimbun.
setapak jalan dan kegelapan.
selangkah demi selangkah kepercayaan.
memuaskah rasa keingin tahuan.

di ujung sana,
suara gaduh seakan menyapa.
lelaki-lelaki tak lelah dunia.
bermandi canda,
membungkus realita.

kulihat mereka bermandi keringat.
sesekali diusap.
meski tak kunjung kesring,
meski tak kunjung habis,
tapi itu cara mereka kuat.

teguh sepertinya.
keyakinan seadanya.
yang mereka rasa,
hanya bayang nyanyian perut anak istrinya.

satu demi satu tumbanglah sudah.
menebas kesombongan gagah.
mencabut akar dari pelukan tanah.
sekuat tenaga mereka.
sehebat sisa nasi mereka.

seorang tambun dengan tangan di kantong jaketnya berteriak.
perintah seakan menjadi sabda wajib mereka.
melibas semua yang tersisa.

hei, ada kopi.
duduk aku menyapa mereka.
seakan ingin sejenak istirahatkan lelah mereka.
kubincangkan tentang lain sisi dunia.
menikmati kopi jatah mereka.
merasakan betapa pahit sebenarnya hidunya.
membagi kisah sedih,
mencampur tawa seadanya.

bukan tentang bagaimana yang semestinya.
tak akan bisa melawan kejamnya dunia.
jangan memandang hanya dari cara saja.
tapi bagiamana mereka tak lakukan yang tak sewajarnya.

mereka berdosa.
mereka tau itu.
tapi alangkah hinanya,
lelaki tambun yang hanya bisa cuapkan perintah itu.
yang munafikkan hidupnya.
yang bergaya seakan tak dosa.
yang berkata seperti dewa kebenaran saja.
tapi tangan kirinya mencekik leher lelaki-lelaki suruhannya, dan tangan kanannya membunuh tanpa ada sisa darah.

kopiku, jangan disalahkan.

Jumat, 17 Oktober 2014

pantai sepi saksi abadi

sendiri melangkah.
di pesisir pantai kosong.
hanya cengkerama mesra ombak dan angin saja.
lalu tersambut pasir halus.
sampai tepian kakiku.
itu saja.
sepi dan kosong.

jika saja mungkin.
kukatakan sepi adalah virus.
yang seakan juga racuni sendi-sendi hati.
lalu semakin kian sendiri.

semilir angin begitu lembuh.
menyapa halus berpagut.

pernah kutulis namanya
di pasir pantai ini.
bukan putih,
tapi pasir hitam.
tepat di samping dermaga yang diam.
lalu pernah kuceritakan
pada ombak di sini.
bagaimana lembut tiap sapa tangannya memelukku.
bagaimana tiap detail sennyumnua yang slalu mampu bangkitkan semangat mudaku.
bagaimana dia selalu ada untuk selalu ingatkanku segala hal.

kini,
aku berdiri di sini.
masih seperti dulu,
sendiri.
hanya berteman sepi.
tapi entah,
mengapa virus sepi sudah menjalar pada hati.
mengakar kuat dan tak ingin pergi lagi.
yang seakan mengaamiinkan sepi pantai ini menjadi kian begitu sepi.

mungkin ini karna waktu.
atau,
mungkin aku yang tak pandai menjaganya.
tapi yang jelas ini bukan karna egonya.
yang memilih pergi dan berlalu.

kuhargai setiap pilihannya.
mungkin saat itu aku begitu tak pantas
meski hanya untuk sekedar disejajarkan sebagai pilihan.
aku terima..

pantai masih berkawan denganku.
meski kopi yang kubawa tak sengaja kutumpahkan.
meski puntung rokok berkali-kali kubenamkan di tanah pantai.
tapi pantai ini masih berkawan denganku.
menyapaku dengan anginnya yang lugu.

biar.
biar kini kujadikan pantai inisahabat baruku.
tempat di mana aku selalu bisa bebas dan tenang.
sampai saatnya nanti.

sampai saatnya dia kembali lagi.
lalu datang dengan senyuman
memelukku lagi.

dan akan kujadikan pantai sepi ini sebagai saksi yang abadi.

kenang di tenang makam

rimbun.
ranting kamboja menutup anggun.
licin jalan setapak.
dihias hijau lumut.
sejuk.

jasad-jasad terbujur tenang.
menghening ditiup semilir angin.
seakan nuansa membawa serta.
dan nisan-nisan menjadi cerminannya.

di ujung sana, biru makam ayah.
berjajar dengan nisan saudaranya.
teduh juga,
rimbun juga,
tenang juga,
seperti lainnya.

anakmu datang, ayah.
entah ini waktu ke berapa aku duduk sendiri di sini.
sedang menghapus rindu,
meski tak pernah benar-benar terhapus.
lalu berbicara mengadu.
memanja seperti gila.
seperti halnya kau begitu dekat mendengar semua.

masih tajam di ingatanku, ayah.
bagaimana tangisku pecah,
saat kuantar kau untuk yang terakhir kalinya.
saat kulihat bagaimana senyummu untuk terakhir kalinya.

tubuhmu seperti diam membiru,
terbujur kaku,
bisu.
lalu tangan-tangan kokoh mereka menopangmu.
tapi senyummu seakan tak pernah ingin berlalu.
seperti ingin selalu ada di setiap waktu.

ayah,
di balik putih jubahmu,
ada tubuh hangat yang selalu sanggup memelukku.
di balik jubah putihmu,
selalu ada cinta kasih yang selalu sanggup bahagiakanku.
di balik jubah putihmu,
selalu ada senyum yang kau hidangkan setiap tangisku.

dan kau telah terbujur kaku, ayah.
lalu aka hanya bisa memandangmu.
duduk sendiri dengan tangis yang tak lagi bisa dibendung.
meski dengan menolak peluk ibu yang ditawarkan.

melihat mereka satu persatu,
menutup liang lahatmu.
menutupnya dengan tanah,
dan aku hanya menangis saja, ayah.
melihat mereka memasang nisan,
aku tetap menangis, dan semakin menjadi.

hanya sederhana yang kubayangkan.
tak ada lagi pelukanmu.
tak ada lagi candaanmu.
tak ada lagi petuahmu.
tak ada lagi cakap hangat saat berbagi kopi denganmu.

tangis semakin pecah, ayah.
kau pergi.
kau tidur abadi.
dipangku bumi.
menyapa rumah Illahi.

ayah, sujud simpuh kupersembahkan untukmu.
maaf yang belum sempat kuucapkan langsung di hadapanmu.
maaf untuk semua dosa yang kulakukan, ayah.
untuk semua kebodohan dan ketidak tahuanku..
maaf, ayah..

Rabu, 15 Oktober 2014

permintaan maaf piko

beberapa waktu lalu,
ada beberapa teman yang berkata pada saya tentang akun ini.
dia berkata,
akun kopipiko ini,
akun sajak yang paling sepi,
garing dan gak jelas.

saya bilang gini,
coba kamu ngopi.
coba rasakan benar,
gimana rasanya kopi.
kopi itu perpaduan.
ada pahit kenangan,
hitam masa lalu,
gelap masa depan yang belum bisa terlihat,
sama hangat semangat.
jadi satu,
jadi kopi.

akun ini cuman pengen mengisahkan kisah sederhana saja.
ingat pada Sang Pencipta,
pada apa yang ada,
apa yang selalu terlihat dan dirasa.
bagaimana bersahabat,
indahnya persaudaraan,
semangat menggapai masa depan,
percaya pada keberhasilan,
selalu bisa belajar dari apa yang pernah dijalani,
saling berbagi,
saling mengerti,
dan berbagai lagi.

kalo masalah garing apa enggaknya,
ya tergantung cara kita menikmati kopi..

kopi kadang diam,
kadang sendiri,
kadang hangat,
kadang pahit,
kadang kebersamaan,
kadang bahagia,
kadang bercanda,
kadang sedih,
kadang...
kadang...
dan kadang....kadang yang lain lagi..

bukan teman saya yang salah berkata,
atau salah mengartikan maksud dan tujuan saya.
tapi ini salah saya.
mungkin saya yang kurang bisa menyampaikan pesan kepada semua..
tapi ya inilah saya,
manusia yang juga punya kerterbatasan dalam segala.
maafkan saya.. :))

tertanda, admin yang sekaligus owner akun kopipiko. :))

Minggu, 12 Oktober 2014

kopi juga punya nyali

di sebuah sederhananya kedai kopi
lelaki-lelaki sedang berbincang tentang hebatnya hari.
mengeluh dengan panas mentari
melelah, lelah karna tuntutan diri.

mentari begitu terik
seakan merayu emosi
membelainya begitu halus dan lembut
sampai terbang melayang begitu tinggi
hanya karna ucap tak mengenakkan hati

segala perdebatan
segala caci makian
merubah seketika dari ketenangan
membakar suasana
gaduh bergemuruh

berkeringat mereka
meski tak banyak gerak yang dilakukannya
mungkin karan emosinya
yang membakar dirinya sendiri

seorang lain membentak seketika
coba meleraikan sepertinya
bukan dengan pelukan
tapi dengan keras dan kejamnya cacian
juga ada lempar batang rokok ke dada mereka
sengaja

bentakannya pasti
membentak untuk saling tenangkan diri

diam mereka
lalu duduk kembali di hadapan kopi

bentakkan lagi terucap
untuk segera nikmati kopi di hadapan mereka
bentakan dengan ancaman kali ini.
"jika tak kau nikmati, kulempar muka kalian dengan cangkir itu"
masih dengan wajah yang penuh emosi dan pasti.
"nikmati..!!"
bentaknya.

tak perlu menunggu hari berlalu
seketika emosi luluh perlahan
satu demi satu hati
saling menurun
terlihat pasti dari nafasnya yang tak lagi memburu
perlahan tercipta senyuman
lalu kembali berjabatan tangan

ini,
jangan bilang kopi tak bernyali
kopi, dengan diamnya saja bisa turunkan emosi.
emosi siapa saja.
bahkan penguasa yang sok berkuasa..

Sabtu, 11 Oktober 2014

hanya jelma bidak saja

tentang ada dan tiada.
dunia selalu berkuasa.
Tuhan yang buat cerita.
seperti dunia tak ubahnya belantara.
terasa kejam dalam tiap putarannya.
tapi begitu manis dalam pengartiannya.
tentang ada dan tiada.

mentari datang dari timur.
menghangatkan insan yang digigilkan sunyi keheningan malam.
lalu memanas, dan meranum jingga.
kemudian membenamkam dirinya di barat.
di waktu seperti biasa.

seperti juga rembulan.
datang tepat waktu bersama malam.
lalu bercanda cinta dengan sayup bintang di keheningan.
dingin dibuai angin dalam kegelapan.
kemudian hilang.
berganti lagi rona fajar yang sempurna.

tentang ada dan tiada.
dibumbui kisah dan kasih cinta.
dirasa oleh hati setiap manusia.
lalu menguat begitu hebat.
mendarah daging.
hingga enggan berpaling.

kita hanya bidak.
yang menjelma sempurnanya manusia.
semua bekal dibawakanNya.
pun nafsu kuasa.

kita hanya bidak.
yang berjalan dengan kaki seadanya.
meraba dengan tangan sederhana.
lalu berlari seakan benar tujuannya.

kita hanya bidak
yang ditakdirkan untuk belajar semuanya.
tentang apa,
tentang siapa,
dan bagaimana sekitar kita.
lalu merangkumnya menjadi diri kita.
menjadi berbekal dan berakal.

kita hanya bidak.
dijalankan atas garis dan tulisanNya.
dijadikan bermartabat.
dikuasakan berharkat.
lalu dihempaskan cobaan.
sampai tersungkur agar kembali ingat kepadaNya.

kita hanya bidak.
yang setiap jengkalnya sudah tergambar pasti sebelum kelahirannya.
yang setiap ucapnya sudah dituliskan jelas sebelum bernyawa.
yang setiap lakunya sudah ditakdirkan indah sebelum tangisnya menyapa dunia.

kelak, yang ada pasti akan tiada.
mungkin menyisakan tangis dan kenang belaka.
dan meninggalkan arti dari sebuah nama.
yang akan lebih kekal dari nyawanya.

dan serta cinta.
coba kau sapakan lutut pada bumiNya.
besimpuh meminta maaf atas semua lakumu.
lalu bersujud menangis, meraungkan dosa sumua.

kita hanya bidak.
yang sempurna.
tercipta bagai maha karya agung.
lebih tinggi derajat dari makhluk lainnya.

karna kita bidak yang sempurna.
kita juga pasti punya lupa..

Jumat, 10 Oktober 2014

wanita di remang malam

senja telah tiada.
malam menyapa keheningan.
angin berhembus perlahan.
bintang dan bulan saling berdekapan.
dingin bukan lagi pilihan.
tapi menjadi hak setiap kulit yang merasakan.

seorang wanita,
bergegas melaju dengan roda duanya.
dengan buru dan degup pacu jantungnya.
membelah ramainya kota.
menuju cafe tempatnya bekerja.

sudah pukul sembilan, tunjuk arloji di tangannya.
dan jalan masih setengah yang harus dituntaskannya.
melaju, melesat, tanpa pandang apa dan siapa.
membawa serta tas yang bergantung di pundaknya.

wanita di remang malam.
dia penghibur.
tapi bukan pemuas nafsu birahi.
dia penghibur setiap hati yang sepi dan sunyi.
di tangannya tercipta nada.
menghentak dan mengoyak sepinya nuansa.
enyahkan pandang buruk padanya.
meski kadang hatinya terluka karenanya.

setiap mata memandanginya telanjang.
entah apa saja yang tergambar di pikiran mereka.
tapi aksi wanita itu tak berubah.
tetap indah dengan senyum yang sesekali merekah.

di sudut nampak seorang lelaki memandanginya.
duduk sendiri dengan beberapa ponsel di meja depannya.
sibuk sepertinya.
ada kerut di dahinya sepanjang malam.

pesta meriah,
tapi lelaki itu tetap saja kerutkan dahinya.
semua bersorak,
tapi lelaki itu hanya diam memandangi ponselnya.
musik kian menghentak,
tapi lelaki itu hanya duduk tanpa sedikitpun beranjak.

lalu turun wanita itu.
ternyata lelaki tadi kekasihnya.
berlalu mereka.
mencari tempat yang sedikit tenang dalam kerumunan.
kerut dahi lelakinya tetap saja.
dan senyum wanita itu mulai berubah menjadi tunduk sayu.

mulai.
mulai bibir lelakinya menganga.
memuntahkan semua keegoisannya.
memaki wanitanya yang sudah tertunduk tak berdaya.
lalu tangannya melayang ringan ke pipi wanita itu.

semua mata heran.
bising seketika menjadi hening.
tertegun memandang yang tak lazim.

hey bung,
dia wanita.
kekasih hatimu, seharusnya.
bukan pemuas keegoisanmu belaka.
kau tiduri tubuhnya,
kau kulum bibirnya,
kau ambil hartanya,
kau maki dia,
kau tampar dia,
kau permalukan dia.
tidakkah ada hati di hatimu..?
tidakkah tangis wanitamu sedikit merobek keangkuhanmu..?

maaf, cangkirku tadi melayang padamu..

si tua yang tak tau diri

malam datang
cuap-cuap musik berdentum kencang
langkah-langkah lelaki pecinta kumbang
menjelma seakan Tuhan sedang terpejam

langkah-langkahnya berat.
di saku celananya sedang ada limpahan harta.
entah darimana
sepertinya mereka pemuja dunia
harta yang siap membeli nafsu di balik sepasang paha.
lalu bergelak tawa seakan bahagia di bibir dosa.

sengat mentari siang, pantulkan senyum kedermawanan.
sekitarnya memujanya bak raja tanpa dosa.
bersabda tentang kekuasaannya.
seakan semua harus tunduk di kaki busuknya.
baju perlente, jam tangan emas, dan kilau sepatu import dari italy.
mengemas dosa menjadi sinar bercahayakan pahala.

senyum ditebarkannya.
menutup tangis imannya yang terbelenggu setan-setan nafsu.
nuraninya menciut, seakan tak berani membantah ajakan setan.

ah, malam yang hebat.
merah mata mereka.
bibirnya tak henti menenggak anggur jaman tua.
lalu mengulum lidah wanita yang mereka beli dengan hartanya.

semakin malam, semakin menggila saja ucapannya.
berteriak lantang seperti penguasa tanpa habis dunianya.
tangan-tangan hitamnya hanya bermain di balik rok pendek wanitanya
bibirnya pun turun di leher putih yang wangi dan menggoda.
pahanya sudah penuh sesak diduduki pinggang wanitanya.
sesak juga dengan perut buncit yang entah apa isinya.
mungkin dosa.
bernyanyi-nyanyi tak terarah.
tak berirama sama sekali di telingaku.
tapi menurutku mereka nyaman-nyaman saja.

hampir pagi.
setan belum pergi.
bahkan semakin asik menari di pikiran kotor lelaki tadi.
minumannya habis.
kakinya tak kuat menahan perut buncitnya.
sempoyongan.
botol-botol pun pecah tersenggol tangannya yang sudah bau oleh paha wanitanya.
tapi dia mencoba kuat dengan memeluk tubuh wanitanya.

seorang kasir sampai menghampirinya dengan membawa nota.
tak lupa juga seorang kasir itu membawa takut yang sampai tundukkan kepala di hadapannya.
dibayarnya semua.
dan tanpa meminta kembalinya.
ah, banyak juga hartanya.

berlalu dia dan teman-teman tuanya.
jangan salah.
kini tangannya tidak kosong.
jari-jari lentik wanita muda tetap diremasnya tanpa udara.
erat.
begitu erat.
bibirnya seakan tak bisa lepas dari leher wanitanya.

sepertinya dosa malam ini belum berakhir baginya.
ranjang dan nafsu masih menunggu di dosa berseri berikutnya.

si tua yang tak tau diri

nelayan dan uang arisan

semilir angin
membawa serta riuh ombak
mengayun bakau
melambaikan daun nyiur

burung-burung bertebaran
bercanda riang di kejauhan
mencari mangsa ikan
yang juga manusia butuhkan

sebuah perahu sederhana
bersiap menyapa ombak deras
hanya berisi empat orang awak
membawa pesan kelaparan keluarganya
dan juga manja anak-anaknya

tangan-tangan kekar beradu
beradu dengan kail, jala dan dayung
menahan panas mentari
melawan kerasnya pukulan angin

di tiap kayuhan perahunya
ada rengek manja anaknya
di tiap tetes keringatnya
ada bayang bahagiakan keluarganya
di tiap genggam jalanya
ada kubur cita-cita kecilnya

lelaki.
merekalah lelaki
lelaki yang berani kesampingkan semua ego, mimpi, dan hobynya
demi bahagiakan semua yang kini telah menjadi tanggung jawabnya

tidak semua lelaki bisa di sama ratakan
setiap manusia punya pembeda ketebalan iman
mereka lelaki yang bertanggung jawab pada semua yang mereka sayangi
bertanggung jawab menghidupi meski harus melawan kejam ombak
mereka lelaki yang sanggup mengubur semua cita-cita kecilnya, demi bahagia anaknya, dan uang arisan istrinya..

Kamis, 02 Oktober 2014

senja di kopiku

ranum manja mentari sore.
memerah malu.
samar nampak tersipu di celah jendela.
tak ada pucat pasi karna awan hitam.
begitu anggun.
meski tak seanggun saat kupeluk dia serta.

dari balik tembok ruang.
hati menyepi dibuai kenangan.
sendiri menanti waktu tiba di peraduan.
sebuah peluk hangat yang tak pernah lekang.

di buru waktu.
jantung berdegup tak tentu.
di biarkan semua yang ada.
terabaikan puing-puing nestapa dunia.
melaju.
seakan waktu tak mau menunggu.
langkahnya menjauhkan mata.
melepas semua rindu yang masih tersisa.

tiba di ujung sana.
sepasang mata menatapnya merindu.
tangannya bergegas membelai.
bahasa tubuh yang begitu santai namun aduhai.

tersaji secangkir kopi.
sesederhana sambutnya tadi.
tapi entah begitu saja terbangkannya tinggi.
meninggi tak terkendali.
tak sendiri.
sepasang mata tadi menyandingi.
senyumnya merekah bak senja hari.
indah.

lelah dan semua yang terasa dalam sehari
lenyaplah sudah.
dibayar lunas oleh senyuman.
dan sapaan ringan.

senja di sana hanya diam saja.
merahnya seakan mengiri pada mereka.
ranumnya seakan terbata.
melambat sudah waktu dunia.
sebelum semua kekal dalam bahagia.